Tarali Kolot Tatar Pasundan(Djisim Khuring)
INSUN WANOH KA JISIM INSUN WAWUH KA KURING
Aku mengenal jiwaku,
aku mengetahui jiwaku dan aku mengenali ragaku sindiri, Sehingga aku paham
harus di bawa kemana jiwa dan ragaku dalam menempuh kehidupan ini agar aku bisa
kembali ke alamat semula dan meninggalkan kebaikan di dunia.
Bermula aku menggali karya - karya pujangga terdahulu dari
awal yang terdekat yang ada di wilayah kampung Cibolerang RT 04/09 Desa Cinunuk
Kec. Cileunyi Kab. Bandung. Hingga pulau Jawa dan Sumatera. Perjalanan yang ku
tempuh betul - betul aku tempuh dengan berjalan kaki, hingga akhir tahun 2000.
Pada saat itu aku berpikir rasanya sudah kesulitan untuk mencari lagi orang tua
yang bisa memberi tegukan ilmu untuk mengobati rasa haus ku.
Dan pada saat itu juga betapa semrautnya bermacam bentuk
ilmu yang aku pelajari. Sehingga aku belum dapat memastikan untuk apa
sebenarnya arah ilmu - ilmu yang aku dapat, apa untungnya dan manfatnya. Pada
saat itu aku bagai kera yang tertimbun buah kelapa yang mengaku bermacam jenis
ilmu itu ada tapi aku sendiri tidak menemukan manfaat dari ilmuku sendiri.
Hingga aku gambarkan kebingungan ku dengan ungkapan: “Hiber ka awang - awang ngarasa leuwang, nobros
bumi ngarasa sepi, angkat ngulon teu ayem, angkat ngaler teu leler, angkat
ngidul tetep udur, angkat ngetan tetep guling gasahan”. Artinya : walau aku
mampu terbang dan mampu menyelusup ke dalam bumi merasa tidak ada pengobat
ketenangan jiwaku yang terombang - ambing oleh ilmu ku sendiri.
Saking hausnya aku dengan ilmu dan tidak ada suatu kepuasan
buat jiwaku, aku bertekad untuk mencari pembinaan dan penempaan diriku. Aku
coba melaksanakan ritual dengan harapan aku bisa mendapat petunjuk dari makhluk
di luar kehidupan dunia nyata. Dan berjalanlah aku mulai menekuni ilmu - ilmu
bangsa makhluk ciptaan Tuhan yang berada di kehidupan ghaib. Setelah aku
tekuni, dari setiap petunjuk bangsa ghaib itu pun semuanya tidak jauh berbeda,
hanya pengalaman langkah ku saja yang membuatku berbeda.
Dan setiap petunjuknya pun ada yang baik seperti layaknya
petunjuk manusia. Sehingga aku bisa menyimpulkan aspirasi kehidupan dari hak
cipta Yang Maha Kuasa: “Jalma mun timu
jeung darajat makhluqna, maka bakal timu jeung darajat manusa mulya. Tapi mun
jalma tetep teu mikiran arahna, moal timu hirup jeung huripna, maka darajat
mulya bakal pindah ka oray, ka batu, ka buta jeung buaya”. Artinya : kalau
kita tidak bisa menemukan jati diri kita sendiri, maka kita tidak akan
mengetahui siapa kita sebenarnya dan kita tidak bisa menemukan derajat manusia
yang dimuliakan Tuhan. Dengan tidak menemukannya derajat manusia yang mulia,
maka akan hilang rasa dan perasaan, akan hilang pula rasa kebijaksanaan. Maka
sifat kemuliaan akan berpindah kepada makhluk lainnya.
Begitu juga dengan ajaran Islam, penilaian ku pada saat itu
semua semraut tidak dapat mengobati jiwaku yang haus dan terombang - ambing.
Apalagi sewaktu aku menilai para Ustad, para ulama yang jiwanya sudah
dikendalikan hawa nafsunya sendiri. Perjalanan dakwahnya yang sudah ditumpangi
dengan kepentingan kelompok. Sehingga aku sulit menilai sebuah kebenaran yang
diungkapkan dalam firman dan hadits.
Saat itu jiwaku malah semakin bergejolak, semakin
terombang - ambing, sampai aku berpikir percuma dengan ilmu. dan Terpuruklah hidupku,
seringkali aku menangisi diriku sendiri dalam keheningan di suatu tempat yang
membuat aku bisa menghibur jiwaku yang tergoncang. Jiwaku berperang melawan
segala prabawa ilmu yang aku pelajari. Satu sisi jiwaku berkata: Kuasailah
dunia karena aku sanggup melaksanakan perintah dari hawa nafsumu. Sisi lain
jiwa ku berkata : Carilah jalan yang dapat menyelamatkan dirimu dunia dan
akhirat.
Aku menjadi bimbang dengan ajakan jiwaku sendiri. Aku
berpikir kemauan mana yang harus aku ikuti dan aku lakukan. Dari situ aku mulai
mencoba menyambungkan pelajaran yang pernah aku palajari dengan kehidupan ini.
Dalam kebingunganku aku coba menyatukan hati dan fikir dalam keheningan dengan mengulang kata - kata . “Butata butiti buta atina. Butata butiti buta matana. Tanghi - tanghi
balik ka Gusti”. Dengan mengulang kata-kata itu aku merasa disindir dengan
ucapanku sendiri.
Perjalanan dalam setiap perenungan aku ulang - ulang selama 40
hari di tepi bukit gunung Manglayang, di tempat menurut kakek buyutku bahwa di
situ Prabu Siliwangi pernah bertapa, dalam perjalanan tahanusku (merenungi diri
sendiri). Aku mulai ingat kata - kata: “Munjung
ka indung, muja ka bapa”. Artinya: junjung tinggi ibu - bapak dalam kehidupan
dunia ini.
Dari perjalanan itu aku mulai mengenali arah langkah
kehidupan dan aku mulai mengenal dari ghaib Raden Cakra Buana,juga Raden Ciung Wanara dan sebagai kakek buyutnya buyut Ciung
Wanara. Dari arahanya secara ghaib, aku mulai menyimak satu per satu kata - kata
dari setiap keilmuan yang pernah aku pelajari. Dan aku nyatakan dari hasil
pengalaman nyata yang aku alami, bahwa buyut Cakra Buana menjadikan gunung
Manglayang sebagai tempat persemediannya, dan nama ciung wanara di berikan di seputar gunung manglayang.
Dari situ aku mulai menyadari bahwa aku keturunan Sumedang
Larang dari susunan melewati buyut Allohu ( Terong Peot ), buyut Ratal, buyut
Bodas, buyut Jambrong dan buyut Lanros,juga dari kake ku sendiri (ki dalang kandi wikandi, putra buyut Ata saudara aki supatma, keduanya putra dari buyut ukin dan buyut ukin putra buyut darman dan buyut darman keturun buyut oyot, dan buyut oyot keturunan dari pangeran pasarean.putra syeh syarif cirebon cucu dari prabu siliwangi dari nyimas rara santang ) Dari buyut ayot dan buyut Darman lah riwayat wayang golek jawa barat terlahir, Itulah diantara salah satu buyut yang
ada di wilayah Cinunuk, gunung Manglayang. Dan aku sempat menyimak buk
kabuhunan yang diperlihatkan oleh ghaib, Buk tersebut sempat di terima oleh buyut Embah fai bapak nenek iyot istri dari buyut Ata Isinya terkandung tentang tauhid, tentang perluasan firman dari Islam
terdahulu, penempuhanku Selama 40 hari ada perjalanan aneh setelah aku baca buk
kabuhunan itu menjadi mengecil seperti istambul berwarna emas. Padahal sebelum
aku membaca buk tersebut hampir sama dengan meja tulis besarnya, Pada saat itu
aku mengalami perjalanan yang aneh tapi nyata.
Dari perjalanan itu pula aku mulai memecahkan dari setiap pelajaran
yang aku dapat, Antara ilmu keislaman dan ilmu kebuhunan. Atara kitab Al-Quran
dan buk kabuhunan Setelah semuanya dari kedua kitab tersebut antara al-Quran
dan buk kabuhunan aku simak dan aku pahami, kedua-duanya saling bersangkutan.
Kitab Al-Quran ialah terisi dari firman Yang Maha Haq dan Maha Kuasa dari
seluruh pengisi alam, dari yang terbesar sampai yang terkecil.
Hadits : ialah ucapan dan perbuatan yang diungkapkan atau
dilakukan oleh orang yang sudah terpercaya oleh Yang Maha Kuasa. Ijma: sebuah
pertimbangan dari pengikut pembawa firman, menginduk kepada Al-Quran dan
Hadits.
Dan isi daripada buk kabuhunan ialah kesimpulan dan
perluasan dari pada firman Yang Maha Kuasa lebih condong memberi petunjuk untuk
bertauhid. Hanya saja yang membuat seolah berbeda antara semua keilmuan,
padahal pada intinya semua terlahir dari pada firman zat laisa kamislihi saiun. Masa dan waktu, bahasa dan cara yang
membuat berbeda. Akan tetapi sebuah firman tidak berubah mulai dari jaman nabi
Adam hingga nabi Muhammad, firman tetap berbahasakan Arab. Yaitu Arab kalam
Ilahi/perkataan zat laisa kamislihi saiun.
Tentu berbeda dengan bahasa Arab lainnya. Untuk bahasa
firman, sekalipun nabi dan seluruh orang Arab, untuk memahaminya harus mempunyai
ilmu untuk memahaminya. Dari itu aku simpulkan bahwa bahasa firman bukanlah
bahasa orang Arab, Tapi firman ialah bahasa Ilahiyah, Ada pun bahasa Arab yang
pasehat yang diucapkan para nabi mulai dari nabi Adam itu adalah bahasa
percakapan manusia yang mula - mulanya baha sa induknya terlahir dari bahasa
firman.
Dan sebagian bahasa Arab yang saat ini menjadi bahasa
percakapan bagi orang Arab yang berbeda dengan bahasa Arab percakapan yang
terlahir dari bahasa firman. Itu adalah bahasa Arab percakapan yang terlahir
dari bahasa Arab percakapan yang terlahir dari bahasa firman.
Kesimpulan bahwa firman bukanlah bahasa orang Arab, bukan
bahasa manusia tapi bahasa ilahiyah. Dan adapun bahasa sunda buhun terlahir
dari bahasa Arab percakapan yang terlahir dari bahasa firman. Untuk lebih
jelasnya dalam memastikan tentang bahasa sunda buhun dan bahasa Arab buhun,
kedepan akan kita bahas.
- Insun Wanoh Ka Jisim Insun Wawuh Ka Kuring -
Firman: “Awalam yatafakkaru fii anfusikum ma
kholaqolahussamawati wal ardhi wa ajali musamma wa minannasi kasiro”. Makna
dari firman di atas yang sudah disusun dalam bahasa sunda dan arti di bawah ini
ialah sebuah perluasan makna dari firman di atas.
“Tungtik diri sasar
raga teang awak sakujur. Silsilah mahluk lahir ka dunya aya Adam, aya bani Adam,
bani Adam, Asal hak cipta opat perkara tina antara hak cipta ngarebu nu teu
aya hinggana nu teu kahontal ku akal manusa, anging kahontal ku dorongan nur
ilahiyah ngajadi wadi, madi, mani, maningkem. Ngajadi kanca banyu, lanca muda,
lanca darah. Sang jaya tali ari - ari, sang jaya tutuban. Diancikan ku opat
malaikat, diancikan ku nur Muhammad. Hirupna : nafas, anfas, tanafas, nufus.
Usikna ku ruh ngancikna dina kalbu, kahayangna ngaliwatan sukma nyatana ku sir
budi cipta rasa. Arahna ku mubtadi, mutawasut, kamil, jeung kamil mukamil. Panetegna
ku ibadah, ubudan, oge ubudiyah. Nyukcrukna ku maknawi, hisi, suri, tabi.
Sampurnana ka sahadatkeun sagala nu di pikawanoh ku diri urang sorangan .”
dari pemahaman dari apa yang aku pelajari, aku simpulkan
bahwa ungkapan orang terdahulu beragam coraknya. Ada yang melalui tulisan,
jenis pusaka, kalimat ilmu dan lain - lainnya. Dan hal ini aku ungkapkan awalnya
aku sembunyikan dan ragu untuk aku ungkap, Karena aku khawatir orang lain
ber prasangka lain dengan apa yang aku sampaikan Tapi aku renungi kembali,
sehingga aku pun harus berkarya dan dapat memberikan dan meluruskan, hal yang
bermanfaat bagi orang banyak.
Dan bersangkutan dengan karya leluhur yang berada di
desa Cinunuk gunung Manglayang yang harus aku angkat dengan tujuan agar karya
para pujangga terdahulu pada khususnya leluhur ku sendiri yang berada di desa Cinunuk gunung
Manglayang dapat diakui dan diketahui. Dengan demikian aku sudah melaksanakan
kewajibanku untuk menghargai karya leluhur dan menjaga tanah kelahiranku
sendiri.
“Lemah cai kuring,
jagaeun kuring. Ngaguar karya luluhur, ngangkat ajen Tanah Pasundan”.
Komentar