LIGAR PUSAKA BUHUN TARALI KOLOT TATAR PASUNDAN ( 12 )
INSUN MEDAL INSUN MUDAR (Aku Lahir Aku Pelurus)
Aku lahir harus membawa manfaat dan aku lahir harus dapat meluruskan sesuatu hal disertai dengan kebijakan dan rasa perasaan. Walau hanya satu kata yang dapat aku sampaikan mengenai sesuatu hal yang berarti, mengenai pelurusan yang bersangkutan dengan agama dan karya leluhur, Antara tabligh dan dakwah, berharap aku dapat mengamalkannya secara pribadi dan dapat memberikan sedikit manfaat untuk orang di sekitarku dan orang lain yang aku kenal.
Aku lahir harus membawa manfaat dan aku lahir harus dapat meluruskan sesuatu hal disertai dengan kebijakan dan rasa perasaan. Walau hanya satu kata yang dapat aku sampaikan mengenai sesuatu hal yang berarti, mengenai pelurusan yang bersangkutan dengan agama dan karya leluhur, Antara tabligh dan dakwah, berharap aku dapat mengamalkannya secara pribadi dan dapat memberikan sedikit manfaat untuk orang di sekitarku dan orang lain yang aku kenal.
Dan aku aspirasikan
tujuanku ini dalam simbol bahasa sunda: “awi
hideung beuki kolot beuki ngereng, paranjang sabuku-buku, lalantas tur
parantes, Sabuku miguna, saleunjeur loba gunana. Dauna nu ngaroyom jadi tempat
pangiuhan tina kapanasan jeung kahujanan”
maknanya dalam bahasa Indonesia, semakin tua semakin berguna, dalam arti
kata tua karena terbina oleh bermacam pengalaman. Lebih menerapkan kebijakan
dalam menilai, memutuskan dan dalam bertindak setiap apa yang dilakukannya,
dengan bentuk ucapan dan tindakan. Lebih mengayomi dan memupuk perbuatan yang
bermanfaat, Sehingga akan menjadi tempat bernaung semua orang yang
membutuhkannya.
Mengenai
karya leluhur, yang aku tahu begitu banyak karya pujangga yang terdahulu atau
pun yang sekarang ini tentu semuanya harus kita hargai dan kita pecahkan agar
yang dimaksud menjadi dipahami. Sehingga kita menjadi generasi yang menjawab
dari maksud karya para pujangga terdahulu.
Dan mengenai
karya leluhur, setelah aku kaji masing - masing mengandung arti dan maksud yang
berbeda, tergantung dari masa yang dialaminya dan misi yang dimaksud pada
jamannya. Dari itu ada pemisah dalam menanggapi hasil karya dari para leluhur
kita. Dalam catatan ini aku akan sedikit mengungkapkan yang aku pahami,
mengenai sangkut paut seni dan budaya yang bersangkutan dengan dakwah Islami,
dan budaya yang bersangkutan dengan pergaulan umum secara tabligh dan secara
dakwah. Yang aku pahami yaitu :
- Tabligh
yaitu : menyampaikan firman yang tidak dikurangi dan tidak dilebihi, benar - benar
utuh sebagaimana aslinya, hanya arti dari bahasa firmannya saja yang
diperbolehkan diterjemahkan dengan bahasa masing - masing wilayah agar tujuan dan
maknanya dapat dipahami.
- Dakwah
ialah : Sebuah firman yang diperjelas dengan hadits yang benar - benar diungkapkan
oleh pembawa risalah dan lebih diperjelas oleh ijma yang benar - banar tidak
diragukan. Karena sifat dakwah bukan hanya menyampaikan pikiran secara pribadi.
Karena jika yang disampaikan hanya pikiran pribadi, maka sifat dakwah tersebut
akan rusak sehingga menjadi simpang siur Karena mudah dihinggapi kepentingan
pribadi, kelompok dan golongannya.
Hal lain
mengenai dakwah, dalam menyampaikan sebuah dakwah atau pun menyampaikan sebuah
pemahaman dari sifat dakwah dari orang yang menyampaikannya, coraknya
bermacam - macam. Ada yang secara utuh disampaikan. Ada juga yang menyampaikannya
melalui simbol - simbol dan media. Corak ini setelah aku kaji mengikuti keadaan
dan masa yang ada pada jamannya masing - masing, seperti ada corak dakwah yang
disampaikan dengan seni dan budaya. Ada juga yang dijelmakan dalam bentuk rupa
barang yang mengandung arti, Corak penyampaian dakwah melalui seni ada
yang berupa bentuk pusaka, lambang dan ada juga yang disipkan dalam alat
kesenian.
Masih dalam
bagian corak penyampaian dakwah yang melalui media, ada bagian lain yaitu
corak penyampaian, dakwah ter aspirasi dari suatu dakwah yang
dipahami. Seperti ritual, peringatan dan saling mengikatkan. Hal ini pun ada
yang diaspirasikan dalam bentuk seperti halnya media dakwah di atas. Sehingga
kita perlu memisahkannya dari bagian - bagian karya para pujangga terdahulu. Tapi
tetap masing -masing karya bisa dipahami dan mencapai tujuan yang dimaksud oleh
pujangga terdahulu.
Aku akan
sedikit mengungkapkan tentang perjalanan hidup dari pertama kali aku tertarik
dengan ilmu mulanya aku tertarik dengan kata - kata yang disimbolkan dengan bahasa Sunda: “Neang tapak soang di awing - awang. Neang
tapak meri dina leuwi, neang galehna kangkung”. Kala itu aku berumur 9
tahun, waktu itu aku antara memahami dan tidak, mengerti dan tidak dengan arti
kata - kata tersebut. Bukan memahami secara makna, tapi memahami secara tulisan
saja.
Dari awal
itu aku mulai tertarik dengan berkelana sehubungan dengan trah Sumedang Larang dan lingkungan di daerah Cinunuk pada waktu
kakek buyutku masih hidup. Aku sering mendengar kisah - kisah yang lebih
mengungkap mistis Pajajaran dan hampir semua orang tua yang ada di wilayah
Cinunuk mempelajari ilmu kebuhunan.
Disitulah aku tertarik mempelajarinya.
Mulailah aku
menggalinya mulai dari orang - orang terdekat yang ada di seputaran daerah Cinunuk.
Setiap ada berita seorang kakek yang mempunyai kelebihan dari orang umumnya,
aku datangi dan aku timba ilmu demi ilmunya, Walau pada waktu itu aku tidak
memahami arah tujuanku, aku hanya melaksanakan dan melakukan kepenasaran jiwaku walau aku sendiri
tidak memahami arti sebenarnya. Seolah - olah aku sangat haus dengan ilmu,
Setelah aku merasa sudah semua orang tua di wilayah Cinunuk yang aku datangi
aku coba mencari di luar Cinunuk.
Dalam
perjalanan perkelanaan aku hanya berpikir ilmu dan ilmu. Disisi lain aku pun
tidak memahami ilmu yang aku pelajari, hingga aku dewasa dan menginjak usiaku 11
tahun, aku mengalami seolah - olah jiwaku dikendalikan di luar pemikiran dan
nuraniku.
Dalam
goncangan jiwaku pada saat itu, sedikit demi sedikit terbukalah kedewasaanku,
walau masih belum tahu dan sanggup dalam mengendalikan diri. Pada saat itu, aku
kurang tertarik dengan ilmu agama karena kurangnya pemahaman tentang mempelajari agama. Namun
seolah - olah aku dituntut untuk mulai menggali ilmu tentang agama. Walau awalnya
hanya sekedar melaksanakan kehausan mencari ilmu. Hingga aku menjadi penasaran
dengan segala ilmu yang baru. Semua aku coba menggalinya. walau Langkahku melalui kepahitan,
kelaparan dan goncangan jiwa.
Dalam masa
rentanku, sadar tidak sadar jiwaku dirasuk emosi, ego, kecerobohan, keangkuhan,
ujub dan takabur. Sa'at itu aku berpikir akulah trah Sumedang yang lahir di Cinunuk yang menjadi pewaris ilmu
kebuhunan. Dan perjalanan ini aku tulis dengan kata-kata simbol: “Raweuy - raweuy buah kai cirina pancer reujeung akar,
daging kai, kulit kai pesat ngajadi daun tur ngaraweuy buah kaina.” Yang
mengandung arti, jika seseorang mengaku mempelajari ilmu dalam masing - masing
bidang tentunya mengalami dan melakukan. Menjadi satu tanda, orang tersebut
disamping dapat mengungkapkan keilmuan yang dikuasainya dapat pula
menjelaskan cirinya. Sebagai tanda bukti mempelajarinya sehingga lahir
pemahamannya.
Dengan
demikian hal seperti itu menjadi suatu bukti bahwa apa yang kita lakukan karena
terdorong pemahamannya, bukan hanya sebatas menceritakan sebuah cerita sehingga
sampainya lagi kepada generasi berikutnya pun hanya menjadi sebuah cerita yang
akhirnya tidak dapat benar - benar dipahami, atau hanya sebatas meniru karya
orang lain, sehingga bisa bicara kalau dibaca. Bisa cerita tapi dirinya sendiri
tidak memahami dengan maksud yang diucapkannya.
Pada
akhirnya akan dirasakan sebuah karya atau sebuah ilmu menjadi kesimpang siuran yang
sulit dipahami kebenarannya. Dan pada akhirnya seorang yang berpengalaman
sekali pun kalau kebetulan menerima warisan ilmu yang sifatnya cerita
diceritakan kembali maka betapa kasihannya orang tersebut. Karena ilmunya tidak
memberi manfaat baginya, mudanya selalu keliru. Tuanya pun tidak Nampak
kebijakan dari pupuk ilmunya.
Dari ungkapan
tadi aku ter aspirasi: “Genteng kadek ku
pangjeujeuh, legok tapak ku rupa pangalaman. Ngajadi wajar: Endog mapatahan
hayam, mun hayamna nyileungleum dina padaringan. Hayanm mamatahan meri ngojay
mun meri ngojay dina tatanduran”. Maknanya: orang yang banyak makan asam garam tentunya
banyak yang dipetik dari pengalamannya, sehingga lebih memupuk rasa perasaan
dan kebijakan dirinya, Dan wajar kalau seorang muda memberi saran kepada yang lebih tua
kalau pa tua itu melakukan sesuatu hal yang salah.
Dari dasar
yang sedikit aku sampaikan dari hal yang aku pelajari, semua masih tersembunyi.
Tapi aku yakin, suatu waktu hal ini akan ada yang memahami dengan segala yang
aku sampaikan dan aku pun menyadari betapa banyak kekurangan diri ini.
“Malati di lamping gunung Manglayang jadi
reujeung eurih tur babadotan. Deukeut panon kaiuban, jauh komo teu katempo.
Dina mangsa malati kembangan, seungitna awun - awunan. Nu jauh cunduk, nu anggang
datang hayang cunduk ka malati”.
Komentar